Kekuatan Hegemoni Sejarah Kolonial Di Bumi Cendrawasih
matinya suatu suku bangsa tak hanya dilihat dari berapa banyak manusia yang tersisa, tetapi juga proses pembunuhan karakter, pembunuhan sejarah dan budaya.
I. Kekuatan Hegemoni
kekuasaan kolonial bertahan di Papua karena ditopang oleh faktor-faktor kekuatan psikologis. Mirip dengan konsep Gramsci, pemikir Marxist Italia yang terkenal itu, tentang “hegemoni” Adapun faktor-faktor itu, meliputi: pertama, politik memecah-belah dan menguasai; kedua, membiarkan massa menjadi terbelakang alias terbelenggu dalam ketidaktahuan; ketiga, injeksi psikologis berupa gagasan keunggulan bangsa kulit putih dan kedudukannya yang tak tergoyahkan; keempat, politik asosiasi alias kolaborasi.
Benturan konflik hegemonial hari ini telah mengarahkan rakyat Papua pada realitas palsu dan berpeluang mengakar hingga anak cucu kita pada kebenaran absurd dan berujung pada tidak harmonisnya kehidupan umat manusia terlebih khusus bangsa Papua. .Oleh karena itu, sama sekali tidak ada alasan untuk mempertahankan kondisi itu. Tapi menghapus hegemoni yang mengakar serta telah merasuki sendi-sendi kehidupan pada tingkatan terendah bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan yang lebih parah, aksi hegemoni ini tidak hanya dilakukan oleh negara sebagai kelompok dominan melainkan dilakukan juga oleh kelompok dalam masyarakat yang diwariskan identitas agresif untuk menekan kelompok subordinan atas dosa yang tidak pernah terjadi oleh oleh penguasa sebelumnnya.
II. Tenggelamnya Sejarah Rakyat Papua
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, tetapi di Papua tak terjadi karena sejak awal tak ikut mendirikan negara Indonesia. Pertanyaan yang harus dimuncul “Mengapa tak ada pahlawan revolusi dari Papua?” Bukan lagi pahlawan Papua-Indon tempelan seperti Frans Kaisepo, Marthen Indey, dll yang dimanipulasi oleh Indonesia. Padahal kenyataan dalam sejarah perlawanan rakyat Papua menentang asing; Frans Kaisepo merupakan tokoh Papua sekaligus pencetus Ide nama Irian (Papua Barat) yang sebenarnya ada arti tersendiri dalam beberapa bahasa daerah Papua (serui, merauke,biak), bukan lagi nama politis yang dimanipulatisasi oleh Soekarno yang ambisius. Beberapa orang Papua yang diangkat Indonesia menjadi pahlawan hanya demi kepentingan memuluskan proses penjajahan dan pemusnahan orang Papua seperti orang Aborigin di Australia [Genosida].
III. Masifnya Praktek Dehumanisasi Kolonial
Dehumanisasi manusia merupakan sebuah bentuk ekploitasi manusia dalam bentuknya yang beragam yang mengekang manusia dari kebebasan hakiki yang dimilikinya. Dehumanisasi ini terkadang diikuti dengan ketundukan manusia yang didehumanisasi dengan yang mengekploitasi dirinya.
Pelajaran-pelajaran untuk sekolah dimanipulasi sedemikian rupa agar tak menimbulkan protektif pada sejarah sebenarnya. Di posisi ini yang pantas dipertanyakan adalah, “Mengapa pemerintah Indonesia tak ada Pahlawan dan menuliskan sejarah orang Papua yang melawan jepang dan Belanda sebagai pahlawan?” seperti Anggietha dan orang-orang Papua yang partai tahun 1940-1950an.
Sebagian besar sejarah rakyat Papua “Dihilangkan dengan proses dehumanisasi, dimana pendidikan dasar diajarkan tentang sejarah kepahlawanan “Indonesia”. Dan secara tak lansung kaum penjajah ditinggikan dalam artian; merekalah yang berjuang padahal jika diterjemahkan ini adalah proses penjajahan.
- Posted in: Uncategorized